Tidak sebesar kota
London, bahkan tak seluas Manchester, Liverpool memiliki kebesarannya sendiri.
Tak hanya dengan musiknya yang diwakili oleh The Beatles, tapi juga dengan
sepak bola yang memang telah membudaya disana.
Layaknya kota-kota
lain, Liverpool juga memiliki dua kesebelasan besar yang saling bersaing tiap
musimnya. Dua club yang membelah sungai Mersey,
dua warna yang mewakili keberagaman para Liverpudlian
( sebutan bagi penduduk asli Liverpool ), Everton FC dan Liverpool FC.
Ketika Manchester
City dan Manchester United dibedakan dengan masa dukungan yang berada di tengah
dan penggiran kota, juga Totenham Hotspurs dan Arsenal dibedakan district yang berseberangan meski berada
dalam teritori yang sama di Utara ibukota, maka, fans Liverpool dan Everton
hidup secara berdampingan, tanpa perbedaan.
Meski berdiri lebih
awal daripada Liverpool, Everton nyatanya kalah mentereng daripada saudara
mudanya tersebut. pemain bintang, popularitas, trofi juara, Liverpool unggul
jauh dari The Toffes. The Reds yang berdiri 1892 (14 tahun
sejak Everton berdiri ) sejatinya merupakan serpihan dari pecahnya hubungan
Everton dengan pengelola Anfield Stadium. Ya, Anfield adalah warisan Everton
yang meninggalkan stadion tersebut akibat tidak sejalannya pemikiran pihak club
dengan pengelola Anfield, John Holding. Ini pula yang membuat Everton harus
rela hijrah ke Goodison Park, yang jaraknya tak jauh-jauh amat dengan Anfield
Road.
Kepergian Everton pun
berdampak besar bagi poros sepak bola kota Liverpool dan Inggris, karena
pemilik Anfield tersebut akhirnya membentuk timnya sendiri, dan lahirlah
Liverpool FC seperti yang kita kenal sekarang. Kelahiran Liverpool yang
diiringi perpecahan pemilik stadion dengan club tertua kota nyatanya tak
membuat Everton dan Liverpool menjadi saling benci. Yang terjadi justru
sebaliknya, Derby Merseyside lebih,
dan akan selalu dikenal sebagai Friendly
Derby, atau bahkan Family Derby.
Julukan ini sendiri
merujuk pada fakta unik pendukungnya, yang meski saling membenci selama
pertandingan berlangsung, tapi sesungguhnya mereka masih dalam lingkungan yang
sama, bertetangga, dan satu keluarga. Merseyside
Derby memang unik, sangat unik, karena memang mungkin hanya derby inilah
yang memberi kehangatan, menyuguhkan kasih sayang. Bukan menebar kebencian,
memancing keributan seperti kebanyakan derby pada umumnya.
Dalam film berjudul “Red’s
and Blue’s”, jelas terlihat bagaimana kedua supporter dari kedua
kesebelasan hidup berdampingan, sekalipun mereka saling ledek dan bertukar hinaan, kedua fans yang saling bertentangan ini nyatanya
tak pernah benar-benar bermusuhan. Film yang dikemas secara jenaka ini memang
menggambarkan keadaan dua fans secara kasat mata, fanatisme berlebihan yang
ditunjukkan keduanya tak pelak membuat kita tertawa melihatnya.
![]() |
salah satu adegan dari film Reds and Blues |
Kebencian bisa
ditunjukkan lewat candaan, baik berupa banter chants, ataupun pencapaian club selama ini. Peran keluarga, bantuan
dari rekan sejawat, dijadikan senjata mematikan untuk mereka menjatuhkan rival.
Itulah sepotong pelajaran yang didapat dari film produksi tahun 2012 tersebut,
tanpa kekerasan, tidak pula dengan pertumpahan darah yang kerap terjadi pada
derby lainnya.
Sudah ratusan kali
Merseyside derby tersaji tiap tahunnya, dan sudah berlipat kali pula fans dari
kedua tim menjalin hubungan harmonis, didalam atau luar lapangan. bukan suatu
kejanggalan pula jika kita melihat stadion Goodison Park dan Anfield menyama
ratakan mereka dalam satu tribun yang sama. Kombinasi biru-merah yang duduk
berdampingan pun menjadi pemandangan asri tiap duel ini berlaga. Sebuah
pemandangan yang mustahil terjadi di Manchester Derby, Roma derby, atau Old
Firm derby di Skotlandia antara Glasgow Celtic dan Glasgow Rangers.
![]() |
salah satu tribun yang memperlihatkan harmonisnya kedua fans yang berbeda ( sumber gambar: www.google.com ) |
Tidak selamanya Hot derby seperti Manchester, Roma, Glasgow selalu
berakhir dengan keributan antar pendukungnya. Begitupula dengan friendly derby
Liverpool yang tidak selalu berjalan hangat, ada kalanya Evertonian dan Liverpudlian
menaikkan tensi permusuhan mereka, dan inilah yang sempat terjadi pada musim
1986 silam.
Cerita dimulai ketika
final European Cup ( kini liga Champions ) yang mempertemukan Liverpool vs
Juventus berakhir ricuh, sehingga membuat ratusan fans Juve meregang nyawa
disana. Fans Liverpool yang diduga menjadi biang kerok kerusuhan pun akhirnya
harus menerima hukuman berat dari UEFA, hukuman yang mau tak mau juga harus
dirasakan seluruh tim asal Inggris. Karena federasi sepak bola tertinggi Eropa
tersebut melarang keikutsertaan tim-tim Inggris di seluruh kompetisi Eropa.
Celakanya, Everton
yang setahun kemudian berhak berlaga di liga Champions pun akhirnya urung
bermain akibat larangan tersebut. tak pelak, kejadian ini pun menabur
permusuhan sesungguhnya antara fans Liverpool dan Everton. Evertonian tak rela keikutsertaannya di kompetisi Eropa harus
terhalang oleh kesalahan Kopites kala
itu di stadion Heysel, Belgia. Dan membuat perselisihan baru antara keduanya
yang selama tahun berjalan cukup banyak membuat keributan.
Selepas itu, tensi
persahabatan keduanya sempat naik turun yang sekaligus meninggikan rivalitas
pertandingan kedua club. Namun, perselisihan dua saudara sekota ini tak
berlangsung lama, karena kedua belah pihak kembali ke titik semula, menjadi
teman sebagaimana mestinya, pasca tragedi Hillsborough yang lagi-lagi menimpa The Anfield Gank.
Merseyside
Derby, atau mereka lebih senang disebut Merseyside United benar-benar menjadi
poros sepak bola dunia, bahwa persaingan sekota tak harus dijalani dengan
kekerasan, tak perlu pula mereka membenci satu sama lain jika hanya ingin
menaikkan tensi pertandingan itu semata. Karena, derby Liverpool sendiri
berjalan cukup panas tiap musimnya. Panas karena permainan yang menghibur, yang
sering diselingi permainan keras antar pemain.
Cukup unik memang
jika kita melihat pertemuan kedua club asal utara Inggris ini. pertandingan
dilapangan yang kerap melahirkan tekel-tekel keras dan tak jarang menimbulkan
keributan antar pemainnya, nyatanya tak membuat para fans tersulut emosi. Justru,
kedua fans tetap harmonis satu sama lain.
Keharmonisan fans ini
tak hanya terlihat dalam tribun stadion, melainkan diluar stadion. Sudah
menjadi rahasia umum pula jika kedua seporter ini banyak yang bertetangga satu
sama lainnya, dan bukan hal yang aneh pula jika di Liverpool kita mendapati
rumah pendukung Liverpool tepat berada disamping rumah fans Everton dengan
atribut club kebanggaan lengkap yang menghiasi pelataran rumahnya masing-masing.
Tidak ada keributan yang mewarnai kehidupan mereka, tidak ada pula hujatan yang
menerpa mereka, semua berjalan normal.
![]() |
masyarakat liverpool yang hidup bertetangga meski membela club yang berbeda ( sumber gambar: www.google.com ) |
Tidak hanya
bertetangga, kedua club Merseyside ini pun telah membelah satu keluarga menjadi
dua warna. Artinya, dalam satu keluarga saja terdapat dua kubu seporter yang
membedakan mereka. Terkadang sang ayah menjadi Liverpudlian dan ibu seorang Evertonian,
atau kakak perempuannya menjadi Evertonian
dan sang adik seorang Liverpudlian,
begitu seterusnya. Inilah yang menjadi salah satu daya tarik tersendiri dari
derby ini, sebuah daya tarik abadi yang tak pernah mati.
Kemuliaan Merseyside United ini pun terekam manis
ketika Liverpool memperingati 25 tahun tragedi Hillsborough di Anfield tahun
lalu. Stadion berkapasitas 45 ribu jiwa ini tak hanya disesaki oleh para Kopites, tetapi juga dihadiri oleh
Roberto Martinez, pelatih Everton, dan beberapa fans Everton yang turun hadir
dalam upacara mengenang fans Liverpool yang tak pernah pulang.
![]() |
bentuk terima kasih The Kop kepada Everton yang telah menghormati tragedi Hillsborough ( sumber gambar: www.google.com ) |
Berjarak kurang lebih
1 KM dari Anfield, Goodison Park pun turut memperingati acara yang sama.
Tujuannya jelas, untuk menghormati para fans Liverpool yang notabene saudara
mereka, mendoakan mereka yang telah tiada, menguatkan keluarga yang
ditinggalkan.
Satu pemandangan unik
pun terjadi ketika Derby Merseyside dihelat di kandang Everton pada musim
2012-2013. Pertandingan yang berjalan alot
ini diawali dengan masuknya sepasang anak kecil berjersey kebesaran kedua
club bertuliskan angka 96 ( jumlah korban jiwa Hillsborough ), dan disudut lain
stadion, tampak secarik kain putih bertuliskan
“Solidarity Has No Colours”, yang
membuat semua pasang mata berdecak kagum akan hubungan fans Liverpool dan
Everton ini.
![]() |
salah satu banner yang mewarnai derby Liverpool tahun lalu ( sumber gambar: www.google.com ) |
Gambaran harmonisasi
kedua fans tak hanya terjadi didalam stadion, karena diluar stadion, tepatnya
di dapur rekaman pun mereka kembali bersatu. Ini lah yang tertangkap kamera
dalam sebuah video klip yang bertajuk “He
Ain’t Heavy, His My Brother”. Suara merdu para penyanyinya yang tergabung
dalam “Hillsborough Justice Collective ( Robby Williams, Melanie Chilsholm ex Spice Girls, Paul McCartney, dan
beberapa musisi Inggris lainnya )” disempurnakan oleh sepasang anak kecil yang
mengenakan jersey kedua club, Everton dan Liverpool.
![]() |
dua anak kecil mewakili dua club sekota untuk memperingati 25 tahun tragedi Hillsborough ( sumber gambar: www.google.com ) |
Lagu lawas milik grup
band Inggris The Hollies ini kembali hidup, dan menjadi lebih hidup dinyanyikan
untuk mengenang tragedi sepak bola paling berdarah di negeri ratu Elizabeth
tersebut.
Tak indah rasanya
jika kita tidak menyinggung para pemain mereka. Ya, layaknya dengan para fans,
pemain kedua kesebelasan pun tidak bisa menghindari takdir mereka yang harus
melawan temannya sendiri. Seperti Steven Gerrard yang semasa kecil merupakan
teman karip dari Tony Hibbert, harus rela bertarung sengit diatas lapangan
untuk membela Liverpool dan Everton. Atau cerita menarik yang menimpa beberapa
pemain kedua club lainnya.
Jamie Carragher,
Michael Owen, disinyalir merupakan seorang fans setia Everton semasa kecil.
Namun, setelah dewasa mereka ditakdirkan menjadi legenda Liverpool, bahkan
Carragher menjadikan Liverpool club yang satu-satunya ia bela. Begitupula
dengan pemain-pemain andalan Everton seperti Leighton Baines, Phil Jagielka,
Ross Barkley yang terlahir sebagai Liverpudlian semasa kecil.
Satu kota memiliki
dua club besar, dua club besar yang menyatukan kota dalam satu impian yang sama,
dua warna yang menyelimuti keindahan kota dengan cerita yang sama, yakni
menjadikan kota Liverpool yang terbaik
di tanah Britania, dengan cara bersahaja, berlomba bersama dengan mengedepankan
kedamaian sebagai poros persaingan dalam sepak bola satu kota. Sebuah kedamaian
sepak bola yang berbalut dengan keagungan musik The Beatles sebagai pembeda.
Untuk penduduk kota
lain atau negara lain, sepak bola mungkin sebuah kegiatan di waktu senggang.
Tapi di Liverpool, sepak bola adalah kehidupan itu sendiri. Ini bukanlah
kalimat dari seorang Bill Shankly, pemilik kalimat penyejuk hati ini adalah…..
Brendan Rodgers
Tidak ada komentar:
Posting Komentar