Final piala presiden
sudah berlalu, tapi euforia nya masih berbekas sampai sekarang ( sama seperti
perseteruan Jokwers dan Haters yang sudah melalui setahun masa jabatan, tapi ya
masih pada baper ). Bukan euforia
kemenangan Persib tentunya yang terkenang, melainkan buntut panjang
pertandingan yang digelar di Jakarta.
Bukan perkara gampang
memang menetapkan final di Jakarta, karena finalisnya adalah Viking bandung dan
tuan rumahnya The Jak, dua musuh abadi dalam sepak bola Indonesia. Ini pula
yang membuat pemerintah, kepolisian, hingga pejabat daerah masing-masing
kelimpungan mensiasati jalannya pertandingan agar tidak bentrok.
Seluruh kekuatan
dikerahkan semua pihak untuk laga akbar ini, sebuah pertandingan yang dimaknai
sebagai “liga tarkam” oleh mantan presiden, Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi ya
emang tarkam sih, wong enggak diakui
FIFA kok. Tarkam atau tidak, diakui FIFA atau tidak, yang penting hadiahnya 4
milliar – walau entah kapan duit sebanyak itu masuk kantong club pemenang.
Totalitas pemerintah
untuk melepas dahaga pecinta sepak bola tanah air nyata terlihat dengan
menggelontorkan dana – yang katanya – sampe 145 milliar hanya untuk mengamankan
perjalanan bobotoh dari Bandung ke Jakarta. Hingga pada akhirnya, presiden
beserta jajarannya berkumpul di GBK, meninggalkan Riau, Palembang, dan beberapa
daerah di Kalimantan yang masih menghela nafas akibat asap.
Mungkin pemerintah,
dalam hal ini Menpora selaku operator turnamen, tidak melihat apa yang terjadi
di Spanyol, ketika final Copa Del Rey yang sejatinya bertempat di Santiago
Bernabue, kandang Real Madrid terpaksa dipindahkanke Mestalla, Valencia, karena penolakan dari Madridista yang tak
ingin melihat sang finalis, Barcelona mengangkat piala dirumah mereka.
Jika dalam
perjalanannya, piala presiden selalu berganti regulasi, lalu, kenapa tempat
final tidak diganti? Dan justru memaksakan kehendak sehingga semua orang dibuat
“siaga 1’ dengan yang namanya final? Toh kita masih punya stadion taraf
internasional lainnya seperti Mangguharjo di Sleman, bung Tomo di Surabaya,
atau Palaran di Kalimantan.
Piala presiden adalah
suatu bentuk dukungan pemerintah terhadap persepak bolaan Indonesia yang kini
sedang tertidur pulas. Pemain, club, dan fans bisa melepas dahaga akan hiburan
sepak bola nasional. Begitupula dengan para sponsor turnamen, yang juga bisa
melepas dahaga akan pundi-pundi rupiah yang didapat.
Jujur saja, saya
jarang menyaksikan pertandingan piala presiden, tapi dari beberapa kabar burung
yang saya dengar, turnamen ini dipenuhi sponsor yang berlalu lalang di layar TV.
Saat pertandingan final berlangsung pun, pihak TV sebagai official Broadcast nya pun lebih banyak menampilkan iklan persembahan
sponsor, ketimbang ulasan pertandingan itu sendiri.
Mungkin ya sah-sah
saja jika seperti itu. Tapi, apa jadinya jika sponsor mulai mengganggu jalannya
pertandingan? Dengan dalih water break?
Jadi gemez sendiri saya dengan
kelakuan para korporat negeri ini yang terkesan kampungan dalam mempromosikan
produknya.
Sebagai negara
tropis, dan mayoritas pemain yang berasal dari negeri sendiri, semestinya water break tidaklah penting-penting
amat digunakan, bisa jadi mubazir. Seperti yang juga dikatakan pelatih Mitra
Kukar, Jafri Sastra “water break
hanya merusak tempo pertandingan, mengacaukan organisasi permainan”.
Belakangan baru
disadari bahwa water break hanya
dijadikan pintu masuk sponsor agar produk mereka tetap berjalan di lini masa TV,
karena setiap water break
berlangsung, iklan-iklan pun mulai mengudara di layar kaca. Padahal di
liga-liga top Eropa, water break
belum juga diberlakukan. Eh, tapi
kita tarkam kan ya? Di banned FIFA
kan ya? Yaudah suka-suka deh. Lanjuuuut….
Rasa-rasanya final
piala presiden sudah bisa menyaingi final liga champions, dari segala seginya.
Popularitas, blow-up media, perhatian pemerintah, sponsor-sponsor, tingkat
pengamanan super ketat, ia menyamai ketenaran final champions. Namun, satu hal
yang tak bisa dihadirkan final liga Champions, yakni mengahdirkan presiden
Indonesia. Liga champions? Mentok-mentok juga aki Blatter yang hadir. Jelas
final liga Champions mulai tertinggal dengan piala presiden yang tidak berumur
setahun ini.
Kini piala presiden
sudah berakhir. Kemudian, apa lagi? Para pemain pun kini telah siap kembali
turun gelanggang ke desa-desa untuk bermain tarkam, demi mencari nafkah untuk bertahan
hidup. Sambil menunggu turnamen selanjutnya. Betul turnamen selanjutnya yang –
katanya – bergulir November, Namanya piala panglima TNI. Kemudian Habibie Cup,
Champions Cup. Lalu, Cup apa lagi yang akan muncul? Butuh berapa turnamen lagi
kita hingga liga bisa berjalan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar