kita di
anugerahi dengan munculnya pemahaman-pemahaman atau idiologi politik yang dapat
merubah nasib suatu bangsa untuk menjadi lebih baik. Ada banyak ideologi
politik yang kita ketahui di antaranya, pemahaman Marxisme yang kemudian
berkembang menjadi Komunisme-Sosialisme yang di kenal dengan haluan kiri dengan
penganut setia di Rusia (dulunya Uni Soviet), China, dan Amerika Latin dengan
menyebarkan pemikiran Karl Mark yang kemudian di refleksikan oleh Lenin di Uni
Soviet, Mao Zedong di China, liberalism-kapitalisme yang ada di tengah dengan Amerika
Serikat dan Inggris nya, dan Fasisme yang lebih condong ke kanan yang di
perkenalkan oleh Hitler di jerman melalui NAZI nya, lalu meluas ke daratan Spanyol
melalui jendral Franco, Italia dengan benito Mussolini nya, dan dengan cepat
menjalar hampir seluruh daratan Eropa .
Melalui
ideologi-ideologi inilah para penganutnya mulai memasuki ranah sepak bola, baik
hanya sebagai propaganda politik untuk menampung dukungan rakyat ataupun
sebagai simbol perjuangan kaum tertentu.
Italia sebagai salah satu negara yang kental
dengan fasisme nya dikenal dengan beberapa club yang berpandangan politik kanan,
seperti Lazio dan Sampdoria yang memang di bentuk oleh Benito Mussolini yang
dikenal sangat kejam dalam menjalankan kekuasaannya. Sampdoria, club yang
bermarkas di Luigi Ferraris ini didirikannya atas dasar ketidaksukaan sang
penguasa pada club Genoa (satu kota dengan sampdoria) yang banyak menggunakan
jasa pemain-pemain yang berasal dari luar italia. Seperti yang kita ketahui,
aliran fasisme yang merunut pada pemikiran Ultra-nasionalis memang sangat
mengagungkan bangsanya sendiri dan menganggap kalau bangsa lain sebagai sampah
yang harus ditumpas. Sementara itu, Lazio didirikan memang hanya semata-mata
untuk dijadikan alat politik Mussolini agar mendapatkan dukungan kaum borjuis Italia.
Jika fans Sampdoria
masih malu-malu kucing mengakui
Mussolini sebagai “orang tua asuhnya”, maka tidak begitu dengan fans Lazio yang
secara terbuka dan bangga mengakui Mussolini sebagai bapak bangsa mereka yang
wajib diagungkan. Bahkan salah satu legenda mereka Paolo Di Canio sempat
membuat geger dunia sepakbola dengan merayakan golnya ala Hitler. Dikenal
sebagai penganut Fasisme yang kolot
selama merumput di negerinya, Di Canio menggegerkan publik sepak bola Inggris
ketika menerima pinangan club asal London, West Ham United. Lalu apa
hubungannya? Inggris merupakan salah satu negara Eropa yang mempunyai sejarah
panjang yang cenderung kelam dengan Jerman yang “memperkenalkan” fasisme di
dunia, dan tentu mayoritas masyarakat Inggris berasal dari kaum buruh yang
sangat bertentangan dengan aliran kanan tersebut. Untuk meredam amarah fans
tentang pemahaman politiknya, Di Canio pun buru-buru menepis isu tersebut dan
mengatakan bahwa dia tidak ada sangkut-pautnya dengan ideologi tertentu.
Di balik loyalitas
fans Lazio terhadap pendirian politiknya, terdapat kejadian menarik ketika
Lazio berhasil menjuarai Serie A pada medio 2000. Ketika itu, bintang mereka
asal Argentina, Juan Sebastian Veron mendapatkan kecupan hangat dari Laziale ( sebutan fans Lazio ), bukan kecupan biasa yang diberikan, karena
yang mereka cium adalah tato seorang sosialisme sejati yang notabene berlawanan
dengan faham fasisme asal Argentina Che Guevara yang memang melekat di kaki
pesepakbola plontos tersebut.
Kentalnya aroma
Fasisme di Italia tidak menyurutkan sekumpulan orang yang muncul dengan club
yang berhaluan kiri, mungkin Livorno menjadi sedikit diantara club-club italia
yang berani mengungkapkan jati diri ideologi mereka, fans dengan bangga memakai
atribut club yang menyebarkan pesan-pesan berbau Marxisme-Leninisme dan tidak
segan-segan menghina fans Lazio dengan Mussolini nya yang memang sangat di
benci oleh mereka. Bahkan sebagai pesaing berat Lazio dalam hal ideologi,
Livorno pun mendapuk sang kapten, Cristiano Lucarelli sebagai simbol perjuangan
kaum kiri Italia. Tak heran jika keberadaan fans Livorno banyak mengundang
pertikaian dalam setiap pertandingan, karena mereka dikelilingi oleh
orang-orang “kanan” yang loyal, namun, mereka masih tetap bertahan dengan
“kesendiriannya” melawan arus di negeri Pizza tersebut.
Italia sebagai
negara yang memiliki sejarah politik yang panjang, rasanya sudah lumrah jika
sering terjadi gesekan-gesekan berlatar belakang politik antar supporter ketika
tim nya sedang bertanding baik itu melalui banner-banner raksasa, atau dengan
banter chants antar suporter garis
kerasnya yang di kenal dengan sebutan Ultras,
bahkan tidak jarang berakhir dengan bentrok antar suporter yang seakan-akan
sudah menjadi identitas di sepakbola Italia, terlebih jika sedang
berlangsungnya derby Della Capitale yang mempertemukan AS Roma dan Lazio yang
memang bersebrangan, baik sisi politiknya atau kehidupan sosial. Untuk diketahui,
fans Lazio yang berhaluan fasisme di huni oleh fans berduit, dan sangat
bertolak belakang dengan AS Roma yang berhaluan kiri, yang identik dengan kelas
menengah ke bawah.
Kebencian kedua
tim ibukota Italia ini memang sudah mendarah daging, saking bencinya, fans
Lazio pernah meminta tim kesayangannya untuk mengalah pada inter Milan pada musim
2009-2010 agar memudahkan Inter untuk meraih Scudetto, dan ketika itu Inter sedang bersaing ketat dengan Roma
dalam perburuan gelar juara, ironisnya disaat yang bersamaan, Lazio sendiri
sedang berjuang lolos dari zona degradasi dan terancam turun kasta ke Serie B. Disini, kita bisa melihat dengan jelas
kalau fans Lazio sangat tidak senang jika AS Roma mengangkat piala, bahkan mereka
dengan sukarela mengorbankan club kesayangannya sendiri untuk berlaku curang.
Sedikit cerita
tentang kekejaman Mussolini, ketika piala dunia tahun 1938 berlangsung di
Perancis, ketika itu Italia sebagai salah satu pesertanya lolos ke final dan berhadapan dengan Hungaria
di partai puncak. Sadar dengan ancaman Hungaria yang saat itu sedang
kuat-kuatnya, Mussolini dengan segala kekuasaanya mengancam akan membunuh seluruh
pemain Italia jika gagal membawa pulang trofi piala dunia. Tapi, beruntunglah
tuhan masih amat sayang dengan skuat Gli
Azzuri, karena tak ada satupun pemain italia yang meregang nyawa karena
mereka berhasil memenangkan pertandingan dengan skor mencolok 4-0. Akan tetapi,
cerita tak hanya berhenti disitu, bahkan lebih heroik lagi, karena tidak ada
raut wajah merintih sedih yang diperlihatkan pemain Hungaria, malah, dengan
kekalahan itu para pemain merasa bangga. Seperti yang diungkapkan kiper mereka
saat itu Antal Szabó “tidak masalah gawang saya kebobolan empat gol, setidaknya
kami sudah menyelamatkan nyawa mereka (pemain italia) dan itu lebih baik
daripada kami juara tapi dengan cara membunuh secara tidak langsung orang-orang
yang tak berdosa”.
Tidak jauh beda
dengan Mussolini di italia, Jendral Franco juga melakukan hal yang sama di
sepakbola spanyol, bahkan bisa dikatakan lebih parah lagi karena sang jendral
lah yang mengatur semua urusan tetek bengek
liga, sang jendral memonopoli setiap club di spanyol, baik dalam hal gelar,
ataupun identitas club, sehingga tidak heran jika Real Madrid yang menjadi
kebanggaan franco merajai spanyol dan bahkan eropa selama franco berkuasa.
Spanyol sendiri merupakan negara yang memiliki beberapa etnis didalamnya,
seperti Andalusia (Sevilla, Malaga, Granada, Real Betis), Castilla (Real
Madrid, Atletico Madrid) , Basque (Athletic Bilbao, Real Sociedad), Catalan
(Barcelona, Espanyol). Bahkan dua etnis terakhir masih menyuarakan kemerdekaan
mereka dari negara Spanyol sampai sekarang.
Kebencian antara
etnis Basque dan Catalan terhadap Spanyol ( khususnya Madrid ) sangat terasa
terlihat jika kedua club ini bertanding melawan Real Madrid yang merupakan
jantung negara Spanyol, setiap Athletic Bilbao atau Barcelona bertemu el real kedua fans mereka pun selalu
membawa lambang kedaerahannya masing-masing sebagai identitas, kita tidak akan
bisa melihat bendera Spanyol berkibar di San Mames atau Nou Camp, stadion beserta
isinya di pastikan akan di sesaki bendera etnis Basque dan Senyera khas Catalonia dengan nyanyian-nyanyian anti Franco, tidak hanya itu fans
Barcelona secara berani mengungkapkan diri ingin berpisah dari Spanyol setiap El Clasico digelar. Sedangkan didaerah
Basque, masih terdapat pejuang-pejuang ETA yang hingga saat ini masih terus
berjuang untuk kebebasan rakyat Basque dari Tirani kerajaan Spanyol
Tidak hanya fans, para pemain yang memiliki
darah Basque dan Catalan juga melakukan hal yang hampir sama, bahkan amat sama,
dan jelas. Ketika Spanyol memenangi piala dunia 2010 dan uero 2012 tidak ada
kekompakan dalam selebrasi tim, hanya pemain yang berasal dari Madrid saja yang
mengalungkan bendera Spanyol di tubuh mereka, sedangkan pemain lain seperti
Fernando Llorente malah bangga mengenakan bendera Basque nya, dan juga beberapa
pemain Barcelona yang memakai bendera senyera khas Catalan dalam merayakan
keberhasilan Spanyol meraih gelar juara.
Tapi tidak semua
club yang berasal dari kota Madrid memiliki fans yang berhaluan sayap kanan,
terletak di pinggiran kota, Rayo Vallecano mencoba melawan derasnya arus yang
mengelilingi mereka. Dengan segala kesederhanaan, kebersamaan hakiki khas kaum
pekerja yang ditawarkan, cukup jelas menggambarkan perbedaan yang terjadi
antara club ini dengan penghuni kota Madrid lainnya. Tidak hanya fans, tapi
para pemain, dan petinggi club pun ikut menjunjung tinggi nilai-nilai
sosialisme yang biasa di refleksikan melalui spanduk-spanduk raksasa ataupun
chants-chants dari suporter. Sebuah kolaborasi indah yang menyatukan tiga
elemen penting dalam sebuah tim dalam menjunjung tinggi sebuah ideologi.
Perbedaan yang
cukup mencolok terjadi di sepakbola Inggris, sebagai negara yang mengklaim
dirirnya sebagai pencetus olahraga ini, massa sepakbola Inggris seakan acuh
dengan pemikiran-pemikiran politik yang ada, sehingga gesekan-gesekan yang
terjadi antar fans bola di Inggris lebih di karenakan isu sosial ekonomi atau
agamanya. Hal ini terjadi di karenakan penduduk Inggris mayoritas berasal dari
kelas buruh sehingga kita hampir tidak bisa melihat isu-isu ideologi yang
disajikan antar seporter jika terjadi keributan. Ada fakta menarik yang terjadi
di sepakbola Inggris ketika Iron Lady,
Margareth Teatcher memimpin negara monarki itu pada periode 1979-1990.
Sebagai kader
Partai Konservatif Margareth Teatcher sontak menjadi public enemy bagi para pencinta sepakbola Britania Raya yang
“dikuasai” oleh kelas pekerja yang selalu ditindas sepak terjangnya oleh
orang-orang konservatif melalui kebijakan yang dikeluarkan, bahkan pelatih legendaries
Manchester United, Sir Alex Ferguson yang memang berasal dari kaum buruh Skotlandia
sangat membenci dan menudingnya sebagai pembunuh kaum pekerja didaratan
Britania Raya. Dan ketika Margareth Teacher meninggal pada 2013 silam, tak
sedikitpun terlihat raut kesedihan dari publik sepakbola inggris akan
kematiannya, bahkan mereka cenderung bahagia dengan meninggalnya si “wanita
besi”.
Persaingan antar
suporter di Inggris lebih di karenakan faktor ekonomi, salah satunya terjadi
antara musuh yang tak bisa dipisahkan, Manchester United vs Liverpool. Isu
sosial ekonomi sangat kental jika kedua tim ini bertanding. Liverpool yang dahulu
di kenal sebagai kota pelabuhan dan menjadi tulang punggung pendistribusian
barang baik yang keluar ataupun masuk ke Inggris dan mayoritas penduduk
Liverpool menggantungkan hidupnya sebagai pekerja pelabuhan, sedangkan Manchester
sangat dikenal sebagai kawasan industri yang menjadi jantung ekonomi Inggris.
Dalam setiap
melakukan kegiatan industrinya, setiap barang yang masuk dan keluar harus
melalui pelabuhan Liverpool yang membuat pengeluaran warga Manchester
membengkak, hal ini terjadi karena jarak antara kedua kota ini sangat jauh,
sehingga berakibat pada membengkaknya pengeluaran yang dilakukan warga Manchester.
awal permusuhan Liverpudlian dan Manchunian dimulai ketika otoritas di
Manchester mulai membangun pelabuhan sendiri yang bertujuan untuk menekan biaya
produksi mereka, dan meringankan beban ekonomi warga. Kebijakan ini tak ayal
membuat penduduk Manchester senang bukan kepalang karena mereka tidak perlu
mengeluarkan uang tambahan lagi, tapi di sisi lain hal ini seolah menjadi
bencana bagi penduduk Liverpool karena mengakibatkan meningkatnya angka
pengangguran yang selama ini menggantungkan hidup mereka melalui kegiatan
pelabuhan.
Inilah yang
melatarbelakangi permusuhan abadi antara fans Liverpool dan Manchester united
sampai saat ini dan fakta unik mengenai pihak club yang seolah-olah
mengharamkan pemain mereka menyebrang ke club rival pun menjadi bumbu
tersendiri dalam tiap laga yang dipertontonkan.
Para
pemikir-pemikir masa lalu yang menciptakan komunis-sosialisme,
liberal-kapitalisme, dan fasisme memang sudah lama tiada tapi buah pemikiran
mereka sudah banyak merubah dunia menjadi lebih baik dan telah menjadi bumbu
penyedap rasa di dunia sepakbola dengan segala ceritanya, karena sesungguhnya
setiap ideologi itu menawarkan kedamaian, tapi sejarahlah yang menciptakan
kekejaman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar